Millenial & GIG Economy

Category:  Business

Pekerjaan konvensional yang sifatnya formal semakin berkurang karena munculnya pergeseran pola dalam bekerja. Gig economy merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menggambarkan  pergeseran  pola pekerjaan yang based on-demand dan skill specialization.

Hal ini menyebabkan adanya perubahan fundamental dalam tatanan kehidupan yang utamanya dialami oleh pemuda yang tengah memasuki dunia kerja. Gig economy lahir pada Generation Y  yang berkisar antara tahun 1980-1994, serta masuk secara masif pada Generasi Z diantara tahun 1995 – 2009 dimana generasi ini akan menjadi pihak yang akan bertransformasi langsung peralihan dari workers menjadi digital labour.

GIG Economy adalah istilah yang terus berkembang di era industri 4.0. Ada yang menganggap fenomena ini positif, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai ancaman.

Generasi Z (sebutan bagi mereka yang lahir pada 1995-2010) ternyata memang memiliki pola pikir yang jauh berbeda dari generasi-generasi sebelumnya terkait dunia kerja dalam otak mereka. Jika generasi sebelumnya lebih berfokus mengejar “lifetime career,” maka tidak dengan generasi ini.

Dan ternyata sebagian besar dari mereka yang memang mengejar “life time career” misalkan menjadi PNS, pegawai tetap, dan sejenisnya adalah hasil dari doktrin orang tua while the others thinks it’s not suitable for them. Hal ini ternyata bukan anomali, secara empiris sudah dibuktikan oleh beberapa survey yang dilakukan di dunia. techrepublic.com dalam artikelnya yang berjudul: Growth of Gig Economy  menyataka,  bahwa 46% Gen Z saat ini adalah freelancer, dan 73% dari mereka melakuan ini karena memang itu adalah pilihan mereka sendiri.

Millenial Dan GIG Economy


Dikutip melalui katadata.co.id, survey serupa juga dilakukan oleh The Deloitte Global Millennial. Hasilnya menunjukkan, bahwa generasi milenial maupun Gen Z tidak ragu untuk terjun sebagai pekerja lepas atau pekerja tidak tetap (Gig Economy). Sebanyak 84% milenial dan 81%  Gen Z akan mempertimbangkan untuk menjadi pekerja tidak tetap.

Mereka (Gen Z) memiliki karakteristik yang independen, tidak terlalu suka dengan aturan dan birokrasi (baca: tradional working ways). Maka pekerjaan yang mereka inginkan adalah yang selain sesuai dengan passion mereka. Juga pekerjaan yang membuat mereka bisa mengatur sendiri jadwal dan hari kerjanya.

Ketika ditanya keinginan terbesar mereka, memiliki rumah dan mobil ternyata bukan tujuan utama, mereka lebih memilih travelling keliling dunia sebagai impiannya. Alasannya sederhana, memiliki rumah berarti memilih tinggal menetap di suatu wilayah. Sementara mereka lebih suka tidak terikat dengan ruang dan waktu. Ngontrak nggak jadi masalah jika itu bisa memberikan mereka kebebasan untuk “bertualang.” Maybe it seems impossible for us (generasi sebelum Generasi Z) but it’s real and they are really survive.

Ada seorang kawan bercerita, dia punya mahasiswa yang sekarang kerjanya adalah melakukan review tempat wisata, keliling dunia, dan bayarannya tak sedikit rupanya. Lain lagi mereka yang memilih bekerja membangun start up sendiri, memiliki ide kreatif, usaha sendiri, dan masih banyak pekerjaan lainnya yang tak pernah ada sebelumnya. Bahkan menjadi youtuber pun juga ada dalam most wanted job mereka.

Beberapa orang yang apatis mungkin akan mengatakan bahwa pemikiran “carefree” seperti itu bisa jadi karena mereka belum berkeluarga dan memahami pentingnya memiliki lifetime career sebagai bagian insurance hidup mereka. 

Istilah Gig Economy (sebutan untuk para Freelancer sejenis) tidak muncul begitu saja. Tapi memang merupakan cerminan karakteristik future of work yang harus diantisipasi dan disiapkan sejak dini bekal-bekalnya. Topik tentang future of work  inipun telah banyak dikaji secara ilmiah dan menjadi hot topic saat ini.

Pemberian upah dari cara kerja gig economy ini berdasarkan tugas, penugasan, atau penjualan. Penerima independen dibayar oleh tugas, penugasan, kontrak, atau volume penjualan yang mereka lakukan. Tidak seperti karyawan yang digaji, mereka tidak dibayar untuk waktu yang tidak dihabiskan untuk bekerja.  Hubungan jangka pendek antara pekerja dan pelanggan dilakukan secara jangka pendek seperti menjadi seorang driver, mendesain situs web, atau mengerjakan project event yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan generasi Y dan Z.

Gig economy menjadi solusi keterbatasan lapangan pekerjaan karena mereka tumbuh tanpa dibebani masalah ketenagakerjaan. Sehingga, banyak perusahaan rintisan atau startup yang memulai usahanya dari para pekerja freelance yang tidak terikat kontrak.

Industri kreatif kelas menengah dan startup saat ini cenderung lebih efektif menerapkan Gig Economy. Dengan memanfaatkan tenaga kerja freelancer yang memiliki kemampuan tak jauh berbeda dengan pekerja tetap, mereka bisa mengurangi pengeluaran yang seharusnya diberikan kepada pekerja tetap.

Selain karena menguntungkan dari segi finansial, perusahaan yang mempekerjakan freelancer juga diuntungkan dari segi inovasi. Pasalnya, mengutip dari Markerteers, pekerja freelancer lebih memiliki ide-ide segar dan baru yang out of the box.



Di masa depan bisa jadi gig economy lebih besar dari pekerjaan formal. Artinya pekerja lepas (gig workers) bisa lebih banyak dari pekerja formal.

Diperlukan kebijakan yang mengantisipasi perkembangan tersebut. Regulasi tersebut harus segera di perhatikan terutama di masa pandemi covid-19 atau masa transisi pasca-covid yang menyebabkan banyak terjadi PHK atau pekerja yang dirumahkan.